web analytics

1. Syarat dan Rukun Khutbah.

Syarat-syarat Khutbah

Khutbah Jum’at merupakan salah satu ibadah yang menentukan keabsahan prosesi shalat Jum’at. Karenanya, rukun, syarat dan segala ketentuannya harus terpenuhi agar pelaksanaan Jum’at sah. Khutbah Jumat dilakukan dua kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.

Khutbah Jum’at memiliki beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya:

1) Harus dilakukan oleh laki-lakiSyarat ini sebagaimana syarat diperdengarkan dan didengar jamaah serta berbahasa Arab juga berlaku untuk selain khutbah Jum’at, seperti khutbah shalat hari raya dan shalat gerhana. Sehingga tidak sah khutbah dilakukan oleh perempuan. Syekh al-Qalyubi mengatakan:

ويشرتط كون اخلطيب ذكرا أو كونه تصح إمامته للقوم كما قاله شيخنا الرملي شيخنا الزَّيدي اىل ان قال وشرط الذكورة جار ِف سائر اخلطب كاإلَساع واعتمده والسماع وكون اخلطبة عربية

“Disyaratkan khathib seorang laki-laki atau orang yang sah menjadi imam bagi jama’ah sebagaimana yang dikatakan Syekh al-Ramli dan dibuat pegangan oleh guru kami Syekh al-Zayadi. Syarat ini berlaku juga di selain khutbah Jum’at sebagaimana syarat khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jama’ah serta syarat harus berbahasa Arab.” (Syekh al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 322).

2) Khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jamaah jum’at yang mengesahkan jum’at.Khutbah diisyaratkan harus dengan suara yang keras. Sekiranya dapat didengar oleh jama’ah jum’at yang mengesahkan pelaksanaan jum’at, yaitu setiap muslim yang baligh, berakal, merdeka, berjenis kelamin laki-laki dan bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin).

3) Khutbah dibaca di kawasan bangunan rumah penduduk desa.Penyampaian khutbah harus berasa di kawasan tempat pelaksanaan shalat jum’at. Maksudnya, posisi khatib harus berada di titik yang masih tergolong wilayah desa pelaksanaan jum’at. Meski jama’ah jum’at mendengarkan khutbah di luar kawasan jum’at, khutbah tetap sah, asalkan khatib menyampaikannya di kawasan pelaksanaan shalat jum’at.

4) Khatib harus suci dari dua hadast, baik hadast kecil maupun hadast besar.

5) Khatib harus suci dari Najis.

6) Khatib harus menutup aurat.Syarat keempat, kelima dan keenam ini ditetapkan karena mempertimbangkan bahwa khutbah Jumat menempati posisi dua rakaat shalat. Sehingga syarat-syarat ini diperlukan sebagaimana menjadi syarat sah pelaksanaan shalat. Maka, tidak sah khutbah dilakukan oleh khatib yang berhadas, terbuka auratnya dan terkena najis pakaian, tempat atau sesuatu yang dibawanya.Khatib yang batal (misalkan kentut) saat menyampaikan khutbahnya, diperbolehkan untuk mengganti dirinya dengan salah satu jama’ah yang hadir. Dan pengganti khatib tersebut boleh meneruskan bacaan khatib yang awal asalkan tidak ada masa pemisah yang lama menurut standar ‘urf (keumuman) antara bacaan khatib pertama dan kedua. Namun jika melewati pemisah yang lama, maka khatib pengganti tersebut harus memulai khutbah dari awal. Namun apabila tidak bermaksud menggantinya dengan khatib lain, maka setelah kembali bersuci, khatib tersebut harus mengulang khutbahnya dari awal, meskipun ia kembali dalam waktu yang singkat. Sebab khutbah merupakan satu bentuk kesatuan ibadah, sehingga tidak dapat dilakukan dengan dua kali bersuci seperti halnya shalat. Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani mengatakan:

من أحدث ِف أثناء اخلطبة أو بعدها واستخلف قبل طول الفصل من يبِن و على فعله َمن حضر جاز

“Khatib yang berhadas di pertengahan khutbah atau setelahnya dan menggantinya dengan jama’ah yang hadir dan ia meneruskan bacaan khutbahnya sebelum melewati pemisah yang lama, maka diperbolehkan.” (Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani, Fath al-‘Alam, juz.3, hal. 63, cetakan Dar al-Salam-Kairo, cetakan keempat tahun 1990).

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani mengatakan:

فلو أحدث ِف أثناء اخلطبة استأنفها وإن سبقه اْلدث وقصر الفصل ألهنا عبادة واحدة فال تؤدى بطهارتني كالصالة

“Apabila khatib berhadas di pertengahan khutbah, ia wajib mengulangi khutbahnya (setelah ia bersuci), meskipun tidak sengaja berhadas dan pemisahnya sebentar, sebab khutbah adalah satu bentuk kesatuan ibadah, maka tidak dapat dilakukan dengan dua kali bersuci seperti halnya shalat.” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, juz 1, hal. 141).

b. Rukun Khutbah

Khutbah Jum’at memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah).

Berikut ini lima rukun khutbah Jum’at beserta penjelasannya.

1) Memuji kepada Allah di kedua khutbah

Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

هللا ولفظ ْحد وما اشتق منه كاْلمد هلل أو أْحد هللا أو ويشرتط كونه بلفظ هللا أْحد أو هلل اْلمد أو أان حامد هلل فخرج اْلمد للرْحن والشكر هلل وحنومها فال يكفي

“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj alQawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246).

2) Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah

Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama “Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “alNabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-lain. Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir. Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”. Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “RahimaLlâhu Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi”(karena menggunakan isim dlamir). Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:

صيغتها اي مادة الصالة مع اسم ظاهر من أَساء النيب صلى ويتعني هللا عليه وسلم

“Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).

3) Berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah

Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha,taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan. Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:

الوصية ابلتقوى وال يتعني لفظها على الصحيح )قوله ُث الوصية ُث ابلتقوى( ظاهره أنه ال بد من اْلمع بني اْلث على الطاعة والزجر عن املعصية ألن التقوى امتثال األوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدمها على كالم ابن حجر …اىل ان قال… وال يكفي َمرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا

“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219).

4) Membaca ayat suci al-Qur’an di salah satu dua khutbah

Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur’an yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janjijanji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya. Seperti contoh:

داَّنوُذََّأَقَّْ اوُوَهللاْ اوُ ت اْاوُهُّكمآَصل اَلاا َقِعَنََّيَنيِمنيِ ي

“Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang jujur”. (QS. at-Taubah: 119).

5) Berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir. Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jum’at disyaratkan isi kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”. Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

اء( أخروي للمؤمنني وإن مل يتعرض للمؤمنات خالفا )و( خامسها )دعلألذرعي )ولو( بقوله )رْحكم هللا( وكذا بنحو اللهم أجران من النار إن قصد ختصيص اْلاضرين )ِف( خطبة )اثنة( التباع السلف واخللف

“Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra’i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpatahun, juz.2, hal.66).

By Mudir

Segala informasi terkait ma'had Al-Jamiah IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *