- Haid
Setiap perempuan perlu mengetahui sifat atau ciri-ciri dan warna darah haid tersebut. Darah haid di setiap kondisi mempunyai sifat dan warna yang berbeda-beda, karena terkadang bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung kondisi tubuh setiap perempuan ketika siklus haid itu berlangsung dalam tubuh. Sabda Nabi Muhammad SAW: ―Dari ‘Aisyah, bahwasannya Fatimah binti Abi Hubaisy pernah istihadhah, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: ―Sesungguhnya darah haid itu darah hitam yang terkenal. Maka apabila ada yang begitu, berhentilah dari shalat; tetapi jika adaang lain, berwudhulah dan shalatlah (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Menurut Imam Syaukani, hadits tersebut membedakan antara darah haid atau tidak darah haid, yang dilihat dari warna darahnya. Jika darah yang ke luar berwarna hitam, maka darah tersebut termasuk darah haid. Jika tidak berwarna hitam maka darah tersebut merupakan darah istihadhah. Seluruh ahli fiqih bersepakat bahwa darah haid yang ke luar di hari-hari biasa pada setiap bulan, yaitu ada yang berwarna hitam, merah, kuning dan keruh (berwarna coklat muda).
Ummu ‘Atiyah menyampaikan mengenai warna darah yang berbunyi “Kami tidak menganggap warna keruh dan kuning setelah suci yaitu sebagai darah haid”. Maksudnya yaitu apabila setelah kita bersuci dari haid dan ke luar cairan berwarna keruh, maka hal tersebut tidak dikategorikan sebagai darah haid. Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah masing-masing mempunyai pendapat mengenai warna darah haid ini, menurut ulama Syafi’iyah ada lima macam warna darah haid yaitu, hitam merah, antara warna merah dan keemasan, kuning dan keruh (campuran antara warna kuning dan putih). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah warna darah haid ada enam yaitu, hitam, merah, kuning, kehijau-hijauan dan warna mirip tanah.
Darah haid yang berwarna hijau biasanya terjadi karena kondisi tubuh yang mengalami gizi buruk. Sifat-sifat darah haid yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, ada 4 sifat.
- Pertama, warna dari darah haid pekat.
- Kedua, darahnya itu mempunyai tekstur yang kental dan sedikit seperti terbakar karena kepanasan.
- Ketiga, karena teksturnya yang kental maka darah haid ini ke luarnya secara perlahan dari kemaluan perempuan dan tidak mengalir deras seperti cairan yang dituang.
- Keempat, darah haid mempunyai bau yang tidak sedap dengan warna darah yang pekat hitam dan sangat merah. Bau tidak sedap tersebutnmerupakan akibat dari busuknya sel-sel telur yang tidak mengalami pembuahan.
Sifat yang keempat merupakan ciri-ciri utama dari darah haid.
Pendapat jumhur ulama tentang umur haid bahwa umur minimal permulaan haid yaitu umur 9 tahun pada perempuan. Jumhur ulama ini mengacu dari kehidupan atau realitas yang telah terjadi, dalam realitas kehidupan ini belum pernah dijumpai seorang kaum perempuan yang mengalami haid di bawah umur 9 tahun. Kalau pun ada, jumlahnya pasti sedikit. Dalam ilmu fiqih, bahwasannya segala problematika yang tidak ditentukan oleh syari’at, maka mengacu pada kehidupan realitas yang sering terjadi. Karena hukum tidak dapat ditetapkan selagi obyek masalah itu jarang terjadi. Apabila terdapat darah yang ke luar dari farji’ perempuan dan perempuan tersebut belum menginjak umur 9 tahun, maka darah tersebut belum dikategorikan sebagai darah haid tetapi darah penyakit. Para fuqaha berselisih pendapat tentang batasan selesainya haid yang biasa disebut menopause. Hal tersebut terjadi bersilih karena tidak adanya nashnatau dalil yang menerangkan hal seperti ini. Maka dari itu, kita kembali mengambil hukum dengan melihat realitas kehidupan yang sudah terjadi.
Madzhab Syafi’i, Hanafi dan Maliki mempunyai pendapat yang berbedabeda mengenai penetapan usia seorang perempuan yang sudah menopause.
- Menurut madzhab Syafi’i seorang perempuan yang mengalami menopause yaitu pada usia 62 tahun. Menurut madzhab Hanafi usia menopause yaitu antara usia 55 tahun sampai 60 tahun.
- Sedangkan madzhab Maliki menetapkan usia wanita menopause yaitu umur 70 tahun, dengan alasan karena perempuan masih ingin bersetubuh atau berhubungan seksual pada umur 50 tahun sampai 70 tahun.
Seorang perempuan akan mengalami haid pada umur 9 tahun seperti penjelasan di atas, apabila darah haid ke luar sebelum usia 9 tahun dianggap yang ke luar tersebut bukan darah haid, tetapi bila ke luarnya diusia 9 tahun dan kurangnya tidak melebihi dari 16 hari, maka sudah dianggap sebagai darah haid. Syarat-syarat ke luarnya darah haid yaitu pertama, tidak boleh kurang dari 24 jam, jika kurang dari 24 jam maka tidak dianggap sebagai darah haid. Kedua, tidak melebihi dari batas 15 hari, apabila melebihi 15 hari maka setelah 15 hari tersebut tidak dianggap sebagai darah haid. Ketiga, terjadi sesuai waktu ke luarnya darah haid, jika tidak pada waktunya maka tidak termasuk darah haid. Pada umumnya, perempuan mengalami haid yaitu 7 hari 7 malam. Masa suci antara dua haid yaitu minimal 15 hari, apabila masa suci belum mencapai 15 hari dan farji perempuan sudah mengeluarkan darah, maka darah tidak dapat dikategorikan sebagai darah haid. Setelah siklus haid sudah selesai atau darah sudah berhenti ke luar, maka segeralah bersuci. Dalam hal bersuci setelah haid dengan mandi besar ini segera dilaksanakan tidak ditunda tunda. Jika sewaktu-waktu haid sudah selesai dipertengahan waktu shalat, maka segeralah melaksanakan mandi besar kemudian segera. Melakukan ibadah seperti biasa, meskipun tengah malam dan cuaca dingin sekalipun, hal tersebut wajib dilaksanakan. Salah satu cara untuk mengecek bahwa sudah selesai masa haid atau belum yaitu dengan cara memasukkan atau menempelkan kapas pada kemaluan (farji) perempuan.
Apabila masih ada flek-fleknya, maka masa haid belum selesai. Tetapi jika masih ada flek-fleknya tetapi sudah melakukan suci dari hadas haid yaitu mandi besar, maka bersucinya tersebut tidak sah dan ibadah-ibadah yang dilakukannya pun tidak sah selama perempuan tersebut melaksanakan mandi besar ulang. Namun jika ditempelkan sudah bersih maka wajib untuk segera melaksanakan mandi besar untuk menghilangkan hadas haid tersebut.
Setelah melaksanakan mandi besar, kemudian segera melaksanakan ibadah seperti biasanya. Pada saat perempuan mengalami siklus haid, ada sesuatu yang wajib dihindari selama siklus haid tersebut berlangsung. Apabila sesuatu hal tersebut dilaksanakan pada saat haid, perempuan tersebut mendapatkan dosa, karena pada saat haid sesuatu tersebut hukumnya haram bagi perempuan yang sedang haid. Adapun sesuatu tersebut merupakan larangan-larangan bagi perempuan yang haid.
Larangan- larangan tersebut adalah:
1) Melaksanakan ibadah Shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Hal tersebut berlaku, karena syarat sah shalat yaitu suci dari hadas besar maupun hadas kecil, haid masuk dalam kategori hadas besar.
2) Berwudhu’ atau mandi janabah. Melaksanakan wudhu dan mandi janabah sah ketika sudahselesai masa haidnya dan darah sudah tidak mengalir lagi.
3) Puasa, puasa yang dilaksanakan oleh perempuan yang mengalami masa haid hukumnya adalah haram. Karena salah satu syarat sah puasa yaitu suci dari hadas haid.
4) Thawaf, thawaf haram dilaksanakan oleh perempuan haid karena salah satu syarat dari thawaf yaitu suci dari hadas besar.
5) Menyentuh mushaf dan membawanya. Dalam Qur’an Surat Al-Waqiah ayat 79.
6) Melafalkan Ayat-ayat Al-Qur’an. Mengenai hukum ini ada dua pendapat,
- pertama, menurut jumhur ulama, yang dimaksud jumhur ulama disini yaitu Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Beliau-beliau berpendapat bahwa melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan haram bagi perempuan yang sedang dalam kondisi haid.
- Pendapat kedua yaitu dari madzhab Maliki dan Azh-Zhahiri. Kedua, madzhab memperbolehkan perempuan yang dalam kondisi haid untuk melafazkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ada pengecualian untuk madzhab Maliki, dibolehkan dengan syarat atau alas takut lupa akan hafalannya atau adanya tujuan ta’lim.
7) Memasuki masjid dan menetap. Madzhab yang mutlak mengharamkan yaitu Madzhab Hanafi. Mutlak mengharamkan perempuan yang haid untuk masuk kedalam masjid, baik sekedar lewat atau menetap.
8) Bersetubuh. Perempuan haid haram hukumnya bersetubuh dengan suaminya. Sesuai firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surat AlBaqarah ayat 222.
919) Menceraikan istri. Suami dilarang dan hukumnya pun haram menceraikan istri dalam keadaan haid. Apabila tetap menceraikannya maka status dari thalaqnya adalah thalaq
bid’ah.
- Istihadlah
Sifat dari darah istihadhah sendiri yaitu darah yang ke luar secara terus menerus dan mengalir bukan pada waktunya. Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karya dari Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dijelaskan bahwa darah istihadhah yaitu darah yang ke luar bukan pada waktu haid dan nifas, atau bersambung mengikuti keduanya. Ini adalah darah yang tidak biasa ke luar, bukan darah kebiasaan dan bukan darah tabiat wanita. Namun, darah ini merupakan akibat dari urat yang terputus. Darah ini ke luar seperti darah biasa, darah ini akan berhenti mengalir jika urat yang terputus itu sembuh. Wanita yang dalam mengalami keadaan seperti ini hukumnya adalah suci dan tidak terhalang mengerjakan shalat maupun puasa sesuai ijma’ ulama dan ketetapan hadits yang marfu’, jika itu memang darah istihadhah dan bukan darah haid atau pun nifas.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan, yang dimaksudkan dengan darah istihadhah adalah ke luarnya darah yang berasal dari farji’perempuan yang terjadi tidak pada waktu haid ataupun nifas, dan darah ini biasanya berupa darah segar yang terus-menerus mengalir, darah ini ke luar karena darah penyakit di dalam mulut rahim wanita tersebut. Seorang perempuan yang sudah menginjak masa baligh, sehat jasmani rohaninya dan sehat alat reproduksinya yang sudah biasa mengalami siklus haid, tentu ia dapat mengenali kebiasaan dan temperatur tubuhnya ketika ia akan mendapat tamu bulanan (haid).
Dengan begitu, ia pun akan mengetahui berbagai kejanggalan atau keanehan yang terjadi pada saat rahimnya mengeluarkan darah, diluar siklus haid. Untuk wanita-wanita yang pengetahuannya kurang mengenai fiqih wanita Islam, pasti akan merasa bingung jika mengalami istihadhah. Di mana mereka belum mengetahui kalau dirinya sedang mengalami istihadhah, dikarenakan mereka belum mengenal yang namanya istihadhah. Hukum untuk perempuan yang
istihadhah, yaitu:
1) Ketika akan melaksanakan segala bentuk ibadah baik shalat atau pun yang lain. Maka tidak diwajibkan untuk mandi. Mandi dilaksanakan hanya sekali saja pada waktu suci dari haid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) maupun Khalaf (kemudian).
2) Sebelum melaksanakan shalat wajib wudhu, seperti biasanya. Hal ini mengacu pada hadis riwayat Al-Bukhari: “kemudian berwudhu lah setiap ingin melaksanakan shalat”. Namun dalam hal lain, Imam Malik berpendapat bahwa wudhu setiap hendak melaksanakan shalat bagi perempuan yang mengalami istihadhah hukumnya hanya Sunnah dan tidak diwajibkan kecuali ada Hadad lain.
Sebelum wudhu sebaiknya membasuh kemaluan dan emmebalutnya dengan kain atau pun kapas agar najisnya tidak terlalu banyak kalo bisa pun sampai najis tersebut hilang. Jika darah tidak dapat disumbat dengan kapas, maka kemaluannya harus dibalut dengan sesuatu yang dapat menghentikan darah yang mengalir tersebut. Tetapi, hal tersebut tidak diwajibkan, melainkan lebih diutamakan.
4) Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya, janganlah wudhu sebelum waktu shalat tiba, karena kondisi suci itu darurat. Jadi, jika waktu shalat belum tiba maka janganlah wudhu dan berwudhulah pada saat waktu shalat tiba dan kemudian segeralah melaksanakan shalat.
5) Berdasarkan pandangan mayoritas ulama, suami boleh berhubungan atau jima’ dengan istrinya bukan pada masa haid, walaupun ada darah yang ke luar dari kemaluannya yang terpenting darah tersebut bukan darah haid. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa jika perempuan yang istihadhah diperbolehkan shalat dalam keadaan darah mengalir, maka bahwa diperbolehkan seorang suami menyetubuhi istrinya walaupun dalam keadaan istihadhah.
6) Seorang perempuan yang sedang mengalami istihadhah, karena status dari perempuan istihadhah adalah suci, maka mereka yang istihadhah wajib yang namanya menjalankan ibadah wajib dan boleh menjalankan segala ibadah dalam Islam. Contohnya yaitu shalat, puasa, i’tikaf di masjid, membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama. Ulama-ulama berselisih pendapat mengetahui mandi bagi perempuan yang sedang istihadhah. Sebagian ulama ada yang menyampaikan, bahwa mandi wajib diwajibkan satu kali, itupun darahnya harus benar-benar berhenti.
Para ulama yang mewajibkan satu kali mandi terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mewajibkan wudhu tiap akan melaksanakan shalat. Sedangkan sebagian ulama yang lain, menyunahkan berwudhu ketika akan shalat. Satu kali wudhu diwajibkan oleh ulama-ulama di antaranya Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan para pengikut ulamaulama tersebut dan para ulama Amshar. Diwajibkan berwudhu oleh ulama ulama tersebut, wudhu untuk perempuan yang istihadhah ketika akan melaksanakan shalat. Pendapat yang lain menetapkan bahwa wudhu hukumnya Sunnah bagi perempuan yang istihadhah ketika akan melaksanakan shalat. Pendapat tersebut kebanyakan dianut oleh para pengikut madzhab Maliki. Dari pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa setiap akan melaksanakan shalat tidak diwajibkan mandi. Mandi hanya sekali saja yaitu pada saat darah benar-benar berhenti. Tetapi dalam persoalan wudhu terdapat dua pendapat yaitu diwajibkan untuk wudhu ketika akan shalat dan wudhu hukumnya sunnah bagi perempuan yang sedang istihadhah ketika akan melaksanakan shalat.
- Nifas
Pada saat nifas darah yang dikeluarkan tidak memiliki batasan minimal maupun maksimal. Ada juga yang darahnya ke luar ketika melahirkan, tetapi setelah proses melahirkan darahnya langsung mampat. Jika hal tersebut terjadi problematika aka perempuan tersebut wajib mandi dan setelah itu menjalankan shalat dan puasa jika itu bulan Ramadhan.
Tanda-tanda selesainya nifas itu sama seperti selesainya haid. Adapun masa selesai maksimal nifas yaitu 40 hari. Lebih dari 40 hari disebut nifas jika perempuan tersebut mempunyai kebiasaan seperti itu. Batas maksimal dalam hal hari yaitu 60 hari. Jika sudah melebihi 60 hari maka tidak dikatakan sebagai nifas tetapi istihadhah. Kalangan madzhab Hanafi berpendapat mengenai suci di antara haid adalah haid. Begitu sebaliknya suci di antara nifas dan haid pada saat nifas adalah nifas, hal tersebut menurut Abu Hanifah. Pendapat dari Abu Hanifah tersebut mirip dengan pendapat sering dikenal dari kalangan madzhab Syafi’i. Sementara itu, di lingkungan ulama Madzhab Maliki dan Hambali menyatakan sebagai kondisi suci, dan perempuan yang mengalami tersebut wajib mandi besar pada hari Di mana darah tersebut berhenti ke luar atau mampat. Kemudian melaksanakan shalat, puasa jika bulan Ramadhan dan boleh berhubungan badan.
Tata cara mandi bagi orang yang nifas sama seperti bagaimana orang haid mandi atau bersuci.Hal-hal mengenai larangan-larangan bagi orang yang bernafas sama seperti larangan pada saat haid. Pembahasan mengenai hal-hal tersebut telah dipaparkan pada pembahasan mengenai larangan- larangan bagi perempuan yang mengalami siklus haid.